TENGGARONG – Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) mulai membuka lembaran baru dalam skema pembiayaan pembangunan desa.
Lewat kerja sama dengan PT Tirta Carbon Indonesia, sebanyak 10 desa di Kukar kini resmi menjadi bagian dari proyek pengelolaan karbon, yang tak hanya menyasar pelestarian lingkungan, tetapi juga membuka sumber pendanaan alternatif untuk desa.
Proyek ini menyasar kawasan gambut di empat kecamatan, yaitu Kembang Janggut, Muara Kaman, Kota Bangun, dan Kenohan.
Desa-desa seperti Muara Siran, Kupang Baru, Bukit Jering, Liang, Sebelimbingan, dan Tuana Tuha masuk dalam area konsesi karbon yang telah dipetakan melalui proses verifikasi lapangan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kukar, Arianto, menyebut kerja sama ini akan memberi kompensasi langsung kepada desa dalam bentuk pendanaan tetap serta potensi program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
“Ini menjadi peluang besar bagi desa untuk memperkuat kapasitas fiskal mereka tanpa sepenuhnya bergantung pada dana transfer pusat atau APBD,” jelas Arianto, Sabtu (17/5/2025).
Pendanaan dari proyek karbon ini dapat digunakan untuk menutup berbagai kebutuhan pembangunan yang selama ini sulit dibiayai karena keterbatasan anggaran.
Beberapa prioritas yang disarankan antara lain pengentasan kemiskinan, peningkatan akses pendidikan, layanan dasar kesehatan, dan pengembangan ekonomi lokal.
Skema ini menandai pergeseran paradigma: lahan gambut dan hutan desa yang dulu dianggap sebagai zona konservasi pasif kini diubah menjadi aset produktif berbasis ekologi.
Desa yang menjaga dan melestarikan kawasan karbon akan mendapatkan imbal balik ekonomi secara langsung.
“Kita ingin desa menyadari bahwa menjaga lingkungan bukan beban, melainkan investasi jangka panjang. Ini adalah pembangunan berbasis sumber daya yang lestari,” tegas Arianto.
Untuk memastikan dampak nyata bagi masyarakat, DPMD Kukar akan melakukan pendampingan secara intensif terhadap desa-desa peserta proyek.
Tata kelola dana karbon ini akan diawasi melalui sistem transparan, dengan laporan berkala dan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan.
Arianto juga menekankan pentingnya akuntabilitas dalam pelaksanaan program agar tidak menjadi ladang penyalahgunaan dana baru.
“Kalau ini berhasil, kita punya model pembangunan desa yang tidak hanya bergantung pada anggaran rutin, tapi juga dari komitmen desa terhadap kelestarian alam,” tambahnya.
Lebih dari sekadar proyek karbon, program ini diharapkan menjadi model pengembangan ekonomi hijau di tingkat desa, dengan dampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan secara berkelanjutan.
“Kami ingin desa-desa di Kukar menjadi pionir ekonomi hijau. Bukan hanya menjaga alam, tapi juga memanfaatkannya secara bijak untuk meningkatkan taraf hidup warganya,” tutup Arianto. (adv)