TENGGARONG — Di balik tenangnya permukaan Sungai Mahakam yang mengalir di Desa Embalut, Kecamatan Tenggarong Seberang, tersimpan dinamika kehidupan yang menggantungkan harapan pada jala, perahu, dan cuaca.
Sebagian besar warganya hidup dari hasil tangkapan ikan—sebuah warisan profesi yang turun-temurun, namun kini menghadapi tantangan baru di era perubahan iklim dan fluktuasi harga pasar.
Namun tahun ini, angin perubahan mulai berembus di desa itu. Pemerintah Desa Embalut tengah menyiapkan revolusi kecil di dunia nelayan: peralihan dari cara tangkap tradisional menuju sistem yang lebih modern dan presisi.
Kepala Desa Embalut, Yahya, menyebut langkah ini bukan sekadar proyek, tetapi bagian dari transformasi peradaban nelayan Embalut menuju masa depan yang lebih menjanjikan.
“Kita tidak bisa lagi berharap hanya pada cuaca dan keberuntungan. Nelayan harus dibekali teknologi dan ilmu agar bisa tetap bersaing dan bertahan,” ujar Yahya penuh semangat, Senin (24/3/2025).
Program yang digagas ini mencakup dua pendekatan besar: pertama, penyediaan alat tangkap modern seperti sonar ikan, GPS navigasi perairan, dan perangkat lunak pemetaan titik-titik potensial tangkapan.
Kedua, penguatan budidaya ikan air tawar yang berkelanjutan sebagai solusi alternatif saat hasil tangkapan menurun.
“Kami ingin nelayan punya dua kaki: satu tetap kuat di sungai, satu lagi berdiri di kolam. Artinya, selain menangkap, mereka juga bisa membudidayakan,” katanya.
Pemerintah desa akan memfasilitasi pelatihan intensif kepada para nelayan muda dan lama. Pelatihan mencakup pemilihan bibit unggul, manajemen kolam, teknik pemberian pakan, hingga pengendalian penyakit dan strategi panen berkelanjutan.
“Dengan pengetahuan ini, para nelayan tidak lagi sekadar menggantungkan hidup pada hasil tangkap harian. Mereka bisa mengatur ritme produksi, dan bahkan masuk ke pasar dengan produk olahan seperti ikan asap, ikan fillet, atau abon ikan,” jelas Yahya.
Langkah ini sekaligus menjawab kekhawatiran lama masyarakat akan perubahan kualitas air, sedimentasi, dan cuaca ekstrem yang kerap mengganggu hasil tangkapan.
Di musim-musim tertentu, hasil jaring bisa nihil—sementara kebutuhan keluarga terus berjalan.
Tak hanya alat dan pelatihan, Pemdes juga tengah menjalin kerja sama dengan Dinas Perikanan Kukar untuk akses ke pembiayaan mikro, asuransi usaha perikanan, serta kemitraan dengan pelaku industri olahan ikan.
“Nelayan kita harus naik kelas. Harus tahu cara mencatat modal, menghitung hasil, mengelola risiko. Jadi bukan cuma tangkap dan jual, tapi benar-benar jadi pelaku usaha yang mandiri dan profesional,” lanjut Yahya.
Warga menyambut baik langkah ini. Sardi (47), nelayan yang sudah melaut sejak remaja, mengaku penasaran dengan alat sonar yang katanya bisa mendeteksi gerombolan ikan di dalam air.
“Kalau bisa tahu titik ikan, kita bisa hemat bensin dan waktu. Itu luar biasa,” katanya sambil tertawa.
Sementara itu, generasi muda Embalut melihat peluang dari budidaya dan teknologi. Arif (22), lulusan SMK perikanan setempat, berharap bisa membuka kolam mandiri dengan teknik yang lebih modern dan hasil yang bisa dipasarkan secara daring.
“Kita pengin buka usaha sendiri, tapi butuh ilmunya dan sedikit bantuan modal. Kalau ada pelatihan dari desa, itu keren banget,” ujar Arif.
Yahya menutup pernyataannya dengan penuh harapan. Menurutnya, Desa Embalut tak boleh hanya dikenal sebagai desa nelayan biasa. Ia ingin desanya dikenal sebagai desa perikanan cerdas, tempat nelayan bukan hanya mahir menjala, tapi juga melek teknologi dan tahan guncangan pasar.
“Kita ingin sektor perikanan tetap jadi tulang punggung ekonomi desa yang kuat. Tapi sekarang waktunya memperkuat tulang itu dengan ilmu, teknologi, dan keberanian berubah. Nelayan kita layak mendapat masa depan yang lebih baik,” pungkasnya. (adv)
